Ayam Jantan Dari Timur Merupakan
Perlawanan Kerajaan Gowa terhadap Belanda
Ketegangan antara Kerajaan Gowa dengan VOC ini sudah terjadi sejak pemerintahan Sultan Alaudin, guys. Sejak tahun 1616, VOC sudah berusaha memonopoli perdagangan rempah-rempah di daerah Indonesia Timur bersama orang Spanyol dan Portugis. VOC memaksa rakyat menjual rempah-rempahnya dengan harga yang ditetapkan oleh mereka.
Tidak cukup di situ, VOC juga secara licik mengatur rakyat agar menebang pohon pala dan cengkeh di beberapa tempat. Tujuannya agar jumlah rempah-rempah jadi terbatas. Dengan begitu, harganya jadi naik.
Hal ini tentu akan melemahkan pada ekonomi rakyat dan kerajaan. Hanya Kerajaan Gowa yang waktu itu selalu tegas menolak monopoli yang dilakukan VOC.
Perjuangan perlawanan Kerajaan Gowa terus berlanjut di bawah kepemimpinan Sultan Hasanuddin. Sesuai prinsip yang dianut oleh Kerajaan Gowa, Tuhan telah menciptakan bumi dan lautan bagi umat manusia, tak terkecuali. Menurutnya, hal ini bertentangan dengan apa yang sudah dilakukan Belanda.
Lahirnya Perjanjian Bongaya
Keadaan tersebut membuat Sultan Hasanuddin terdesak. Mau tidak mau, pemimpin Kerajaan Gowa tersebut harus menandatangani perjanjian yang disebut dengan Perjanjian Bongaya yang berlangsung pada 18 November 1667 di Bungaya.
Secara garis besar, isi Perjanjian Bongaya seperti berikut:
Karena tidak punya pilihan, Sultan Hasanuddin harus menyetujuinya walaupun perjanjian ini merugikan Kerajaan Gowa.
Pada tahun 1669, Sultan Hasanuddin kembali melakukan perlawanan terhadap Belanda. Dalam perlawanan ini, Belanda berhasil menguasai benteng terkuat Kerajaan Gowa, yaitu Benteng Somba Opu. Akhirnya, Kerajaan Gowa yang dipimpin Sultan Hasanuddin harus kembali tunduk pada Belanda. Kegigihan Sultan Hasanuddin yang tidak pantang menyerah ini dijuluki sebagai De Haantjes van Het Ooston oleh Belanda yang berarti Ayam Jantan dari Timur.
Lahirnya Perjanjian Bongaya
Keadaan tersebut membuat Sultan Hasanuddin terdesak. Mau tidak mau, pemimpin Kerajaan Gowa tersebut harus menandatangani perjanjian yang disebut dengan Perjanjian Bongaya yang berlangsung pada 18 November 1667 di Bungaya.
Secara garis besar, isi Perjanjian Bongaya seperti berikut:
Karena tidak punya pilihan, Sultan Hasanuddin harus menyetujuinya walaupun perjanjian ini merugikan Kerajaan Gowa. Pada tahun 1669, Sultan Hasanuddin kembali melakukan perlawanan terhadap Belanda.
Dalam perlawanan ini, Belanda berhasil menguasai benteng terkuat Kerajaan Gowa, yaitu Benteng Somba Opu. Akhirnya, Kerajaan Gowa yang dipimpin Sultan Hasanuddin harus kembali tunduk pada Belanda. Kegigihan Sultan Hasanuddin yang tidak pantang menyerah ini dijuluki sebagai De Haantjes van Het Ooston oleh Belanda yang berarti Ayam Jantan dari Timur.
Berakhirnya Masa Kejayaan Ayam Jantan dari Timur
Setelah Belanda berhasil mengalahkan Gowa, Sultan Hasanuddin mundur dari Benteng Somba Opu ke Benteng Kale Gowa. Walaupun mundur, Sultan Hasanuddin tidak mau tunduk dengan Belanda yang sudah membuat rakyatnya sengsara.
Sultan Hasanuddin kemudian memutuskan mengundurkan diri dari tahtanya pada 29 Juni 1669. Kepemimpinan Kerajaan Gowa kemudian diberikan pada putranya, I Mappasomba Daeng Nguraga dengan gelar Sultan Amir Hamzah.
Setelah tidak menjabat sebagai raja, Sultan Hasanuddin lebih banyak menghabiskan waktu untuk mengajar agama Islam pada masyarakat sekitar.
Sultan Hasanuddin menghembuskan nafas terakhirnya pada 12 Juni 1670 di usia 39 tahun. Jasadnya disemayamkan di pemakaman dalam benteng Kale Gowa, Kampung Tamalate, yang diperuntukkan khusus bagi raja-raja Gowa.
Atas seluruh jasanya dalam perjuangannya melawan penjajah, Sultan Hasanuddin diangkat menjadi Pahlawan Nasional pada tanggal 6 November 1973 berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No. 087/TK/tahun 1973.
Wah, menarik ya kisah perjuangan Sultan Hasanuddin dalam memperjuangkan kemerdekaan RI. Semoga Sobat Medcom dapat melanjutkan perjuangan Sultan Hasanuddin, bukan untuk melawan penjajah tentunya, tapi untuk membawa Indonesia ke level yang lebih tinggi lagi di mata dunia.
Pecahnya Perang Makassar
Dalam upayanya melawan Belanda, Sultan Hasanuddin harus memperluas wilayah kekuasaannya. Pada Februari 1660, Sultan Hasanuddin memanggil Tobala Arung Tanette. Ia meminta Arung Tanette untuk memimpin orang Bone untuk memperkuat pertahanan Makassar dalam melawan Belanda.
Tobala Arung Tanette menyatakan bahwa dirinya selaku pemimpin orang Bugis Bone siap berperang bersama Sultan Hasanuddin melawan Belanda. Hal ini demi menjaga harga diri dan martabat orang Bugis Bone.
Selanjutnya, Tobala memimpin orang Bugis Bone untuk pergi menjaga wilayah yang terletak di bagian belakang Makassar. Tobala juga melaporkan setiap usaha Belanda yang ingin membujuk orang Bugis untuk melawan Makassar.
Singkat cerita, Tobala Arung Tanette membawa orang Bone yang berjumlah sekitar 10.000 berjalan melintasi gunung-gunung tinggi menuju Makassar. Sampai di Makassar, mereka dibagi kelompok dan ditugaskan untuk menggali parti di sepanjang garis pertahanan di pantai pelabuhan Makassar.
Mulai dari benteng paling selatan Barombong sampai benteng paling utara Ujung Tana. Proses penggalian parit ini dilakukan secara paksa.
Orang Bone dipaksa bekerja siang malam untuk menggali parit. Perlakuan ini membuat Arung Palakka, pimpinan Kerajaan Bone marah dan tergerak untuk memberontak. Dari sini, Belanda mulai merasa ada percikan konflik internal terjadi antara Kerajaan Gowa dan Kerajaan Bone.
Tanpa menunggu lama, Belanda memanfaatkan celah ini. Long story short, akhirnya Kerajaan Bone yang awalnya berada di bawah kekuasaan Kerajaan Gowa berhasil dihasut oleh Belanda untuk membantu VOC.
Perang Makassar berlangsung dari 1666-1669. Dalam perang ini, Belanda dibantu oleh Kerajaan Bone untuk melawan kerajaan yang dipimpin Sultan Hasanuddin.
Masa Pemerintahan Sultan Hasanuddin
Kerajaan Gowa terletak di ujung selatan Pulau Sulawesi dengan ibukota Somba Opu yang berada di pantai Selat Makassar. Di bawah kepemimpinan Sultan Hasanuddin, Kerajaan Gowa berada pada masa kejayaannya. Kerajaan tersebut menjadi pusat perdagangan terbesar di Indonesia bagian timur.
Kerajaan Gowa menjadi penghubung wilayah barat seperti Pulau Jawa, Kalimantan, Sumatera, dan Semenanjung Malaka, dengan wilayah timur seperti Kepulauan Maluku dan Nusa Tenggara.
Di bawah kepemimpinan Sultan Hasanuddin juga, Kerajaan Gowa berhasil memperluas wilayah kekuasaannya hingga Ternate dan Sumbawa. Hal ini tentu membuat Belanda tidak senang dengan keberadaan Kerajaan Gowa, terutama Sultan Hasanuddin. Menurut Belanda, kebijakan perdagangan yang diterapkan oleh Kerajaan Gowa tidak sesuai dengan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie).
Jadi, waktu itu VOC sudah melakukan praktik monopoli perdagangan rempah-rempah. Upaya VOC untuk memonopoli perdagangan di daerah Indonesia Timur ini membuat Sultan Hasanuddin geram dan melakukan perlawanan.
Masa Pemerintahan Sultan Hasanuddin
Kerajaan Gowa terletak di ujung selatan Pulau Sulawesi dengan ibukota Somba Opu yang berada di pantai Selat Makassar. Di bawah kepemimpinan Sultan Hasanuddin, Kerajaan Gowa berada pada masa kejayaannya.
Kerajaan tersebut menjadi pusat perdagangan terbesar di Indonesia bagian timur. Kerajaan Gowa menjadi penghubung wilayah barat seperti Pulau Jawa, Kalimantan, Sumatera, dan Semenanjung Malaka, dengan wilayah timur seperti Kepulauan Maluku dan Nusa Tenggara.
Di bawah kepemimpinan Sultan Hasanuddin juga, Kerajaan Gowa berhasil memperluas wilayah kekuasaannya hingga Ternate dan Sumbawa. Hal ini tentu membuat Belanda tidak senang dengan keberadaan Kerajaan Gowa, terutama Sultan Hasanuddin. Menurut Belanda, kebijakan perdagangan yang diterapkan oleh Kerajaan Gowa tidak sesuai dengan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie).
Jadi, waktu itu VOC sudah melakukan praktik monopoli perdagangan rempah-rempah. Upaya VOC untuk memonopoli perdagangan di daerah Indonesia Timur ini membuat Sultan Hasanuddin geram dan melakukan perlawanan.
Masa Kecil Sultan Hasanuddin
Sultan Hasanuddin lahir di Makassar, Sulawesi Selatan pada 12 Januari 1631 dengan nama I Mallombasi Muhammad Bakir Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangepe. Walaupun terlahir dari keluarga bangsawan, Sultan Hasanuddin senang bergaul dengan teman-temannya yang berasal dari rakyat biasa.
Ketika Hasanuddin berusia 8 tahun, ayahnya, Sultan Muhammad Said naik tahta sebagai Raja Gowa yang ke-15. Jiwa kepemimpinannya sudah menonjol saat ia masih kecil. Selain itu, Hasanuddin juga dikenal sebagai anak yang cerdas dan pandai berdagang. Di usia muda, Hasanuddin sudah memiliki jaringan dagang hingga di Makassar dan bahkan asing.
Sultan Hasanuddin kecil mengenyam pendidikan di Masjid Botoala. Ia juga kerap diajak ayahnya untuk menghadiri pertemuan penting kerajaan.
Ayahnya ingin Hasanuddin bisa belajar ilmu diplomasi dan strategi perang. Di masa mudanya juga, Hasanuddin sudah beberapa kali dipercaya untuk menjadi delegasi Kerajaan Gowa dalam mengirimkan pesan ke berbagai kerajaan.
Baca Juga: Mengenal Ismail Marzuki, Sang Maestro Pejuang Kemerdekaan Indonesia
Actions (login required)
Murniah, Dad and Untoro, Setyo (2016) Ayam Jantan dari Timur. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Jakarta. ISBN 978-979-069-008-0
Perjalanan Menjadi Sultan
Saat Hasanuddin berusia 21 tahun, ia menduduki posisi jabatan urusan pertahanan Gowa, loh! Pendidikan pemerintahan ia dapatkan dari sang ayah dan Karaeng Pattingaloang yang merupakan Mangkubumi Kesultanan Gowa.
Ayahnya, Sultan Muhammad Said turun tahta pada 1653 dan mewasiatkan agar kerajaan Gowa kepemimpinannya dilanjutkan oleh Hasanuddin.
Sultan Muhammad Said menghembuskan nafas terakhirnya saat Hasanuddin menginjak usia 22 tahun. Dengan begitu, Sultan Hasanuddin naik tahta sebagai Raja Gowa ke-16.
Terlepas dari kedua versi tersebut, ada yang menarik, nih, dari pengangkatan Sultan Hasanuddin menjadi Raja Gowa. Sebenarnya, apabila dilihat dari adat kebiasaan, Hasanuddin tidak berhak untuk menduduki tahta sebagai raja.
Pasalnya, saat ia lahir, sang ayah belum menjadi raja, guys! Tapi, putra mahkota saat itu, Daeng Matawang beserta para bangsawan lainnya setuju dengan diangkatnya Sultan Hasanuddin jadi raja.